IBU YANG TABAH DAN KHALIFAH YANG BIJAK

[b]




IBU YANG TABAH DAN KHALIFAH YANG BIJAK

Kala malam masih kelam, udara gurun teramat dingin terasa menyusup ketulang setiap insan yang masih terlelap tidur, seorang ibu dengan dikelilingi putra putrinya disekitar tungku perapian menunggu masaknya masakan untuk segera dinikmati sebagai santapan mengobati rasa lapar dan dingin, sampai beberapa anaknya tak sabar dan akhirnya tertidur didekat tungku perapian. Beberapa anaknya yang belum tertidur selalu menanyakan kapan gandum itu masak, dengan sesekali mengatakan lapar, lapaar...........
Ibu yang beranjak keusia tua itu selalu menghibur dengan kalimat yang selalu diulang dan diulang sebentar lagi sayang, sebentar lagi........... bukankah airnya sudah mendidih.
Kendatipun hatinya menangis, jiwanya menjerit melihat anak-anaknya kelaparan sampai ia harus terlelap tidur disamping tungku perapian, padahal apa yang ditunggui oleh anaknya adalah sesuatu yang mustahil bisa dimakan.
ibu tersebut berpikir ia harus tegar dihadapan anak-anaknya. Teringatlah akan suaminya yang telah pergi meninggalkan ia dan lima orang anaknya yang masih kecil-kecil tanpa ada peninggalan yang cukup untuk membesarkan anak-anaknya, andaikata suamiku masih ada tentu tak seberat beban yang aku emban, tentu akan bersama menanggung beban derita ini, ya Allah kuatkanlah imanku dalam membesarkan anak-anakku ini.......... demikian desahnya dalam memulai beranjak tidur. Tiba-tiba................dari pintu rumahnya yang reot terdengar suara merdu doa salam, Assalaamu’alaikum warahmah ya ummiii? Terperanjat tak terkira sang ibu, dalam benaknya antara ada dan tiada, bagaimana mungkin malam kelam begini ada yang mau bertamu kepada orang miskin seperti dirinya, dalam keraguan yang belum pasti ia menjawab salam tamu tersebut, Wa’alaikumussalam warahmah.
Siapa diluar ? aku, orang yang tidak akan mengganggu engkau dan keluargamu. Silahkan masuk.............Jawab sang Ibu dengan suara lembut. Ibu....Kata sang tamu tengah malam yang tak diundang itu mengawali tujuannya, sudah lama aku mengintip dari lobang dinding rumah Ibu, aku perhatikan ibu adalah orang tua yang kejam tak berperi kemanusiaan, bagaimana mungkin memasak tak pernah matang, padahal anak-anak ibu merengek kelaparan dan minta makan dan masakan itu tak pernah diangkat sampai putra putri tertidur. Selama sang tamu itu bicara, diperhatikannya baik-baik sambil menitikkan air mata dibawah sinar temaram lampu ceplik yang hampir padam, karena kehabisan minyak. Lalu ia menjawab dengan suara parau menahan kelu hatinya, katanya: Saya doakan mudah-mudahan Umar bin Khattab Khalifah Rasulullah mendapat la’nat Allah Swt...belum lagi ucapan sang ibu selesai, disela oleh terperanjatnya sang tamu mendapat jawaban yang tak disangka itu dengan bertanya ; Mengapa Ibu medoakan sejelek itu kepada Khalifah padahal ia belum tentu bersalah?
Bagaimana tidak kata ibu tersebut...... lihat tuan, lihat tuan apa yang aku masak dan tak pernah aku angkat, karena sampai kapanpun masakan itu takkan pernah matang dan takkan pernah bisa dimakan, sambil mengangkat tutup kuali (panci yang terbuat dari tanah liat yag dibakar.....), kata sang ibuu dengan suara gemetar karena sedih dan menahan geram. Tamu tengah malam itu amat sangat terperanjat baru kali inilah menemui hal yang sungguh mengejutkan, sambil berdesah dengan suara menekan perasaan “ Allaahu akbar....... sambil menganggukan kepalanya ia tahu persis masakan itu takkan pernah masak, karena ternyata yang dimsak itu adalah bongkahan batu batu hitam pegunungan..... pikirnya kemudian ini hanyalah siasat seorng ibu untuk membohongi anak-anaknya sampai ia bisa tidur. Terdengarlah suara lembut tamu itu antara ada dan tiada...... Astaaghfirullaah, aku mohon ampun kepadamu Ya Allaah...... kemudian ibu itu menyambung dengan kalimat “ ia adalah khalifah yang tidak tahu ada rakyatnya menderita seperti kami dengan lima orang anaknya kelaparan ia harus tanggung jawab dihadapan Allah. Mendengar pernyataan tersebut sang tamu sangat terperanjat dan menangis, air matanya mulai menetes satu persatu sampai membasahi jenggot janggutnya yang tumbuh sangat lebat. ,sampai sang ibu merasa heran, adakah perkataan saya yang menyinggung hati tuan sampai tuan menangis ? tidak, tidak, hanya aku kasihan dan simpati kepada ibu beserta anak-anak ibu semoga doa yang ibu pinta tadi dikabul Allah. Kata sang tamu yang diteruskan dengan .....Kemana suami Ibu ? Suamiku diijinkan perang membela Agama Allah Oleh khalifah Umar dan meninggal sebagai Syuhada padahal kami tidak ditinggali bekal yang cukup untuk membesarkan anak-anak kami. jadilah nasib kami seperti ini, hidup menjadi duafa, terlunta lunta, makan seketemunya, anak-anak kurang gizi dan beberapa hari ini kami sudah tak makan apa-apa sampai kami kelaparan begini tuan, sambil sama-sama menyeka air mata antara sang ibu dan sang tamu. Baiklah ibu kata sang tamu dengan melenjutkan ucapannya, besok pagi ibu menemui khalifah Umar bin Khattab dan ceritakan semua akan nasib sang Ibu, sambil bergegas pergi meninggalkan rumah renta tersebut dengan ucapan malam ini aku akan membantu ibu dan anak-anak sedapatnya, dengan ucapan salam tanpa menghiraukan perkataan sang ibu yang berkata bagaimana mungkin kami bisa menemui khalifah sang presiden sedang kami adalah rakyat jelata ?
Penjaga gudang yang gagah-gagah dengan senjata yang lengkap itu kaget tak kepalang dimalam yang begitu dingin ada seorang yang berani masuk gudang dan membawa sekarung gandum milik pemerintah, dengan bentakan yang keras membelah kesunyian negara gurun itu Pencuriiiiii.......berhenti! bentaknya. Secepat itu lelaki paruh baya yang berbadan tegap tinggi dan kuat itu berhenti dan hampir-hampir menjadi sasaran pukulan, untung sang lelaki itu spontan bertakbir dengan kalimat Allaahu Akbar, sebelum bogem mentah sang penjaga gudang mengenai wajahnya. Namun apakah yang terjadi? betapa terperanjatnya sang petugas keamanan itu ketika sang lelaki paruh baya itu membuka topi penutup kepalanya sebagai penyamaran, spontan beberapa petugas keamanan itu hormat sejadi-jadinya ketika tahu bahwa yang ada dihadapannya ialah sang khalifah (presiden). Maafkan kami khalifah mereka serempak berteriak...... Mengapa khalifah kalau butuh dengan makanan tidak menyuruh kami ?.... kata salah seorang dari mereka. Tidak , kami hanya butuh yang kami bawa ini untuk menolong seorang janda yang suaminya mati syahid membela agama Allah dipinggir kota dan sekarang sedang kelaparan kata khalifah. Kalau begitu boleh kami yang membawa sekarung gandum tersebut ? sekali lagi kata khalifah tidak....... ini adalah tugasku, apakah kamu mau memikul dosaku dihadapan Allah ? untuk memikul dosa itu biar aku sendiri yag memikul beban ini, semoga dosaku menjadi ringan diakhirat kelak. Demikian seorang Presiden berkhidmat kepada rakyatnya, dikegelapan malam ia memanggul sendiri beban berat diatas punggungnya demi tanggung jawab kepada rakyatnya tanpa berkendara tanpa pengawal tanpa pakaian kebesaran.
Sesampai dirumah sang ibu ia terus bekerja keras memasak untuk keluarga tersebut tanpa bersedia dibantu oleh sang ibu yang ia sadari dalam keadaan lapar dan lelah. Siaplah makanan, dibangunkannya seluruh anak-anaknya dan makan ditengah gelapnya malam dan dinginnya udara. Semua keluarga tersebut bersyukur kepada Allah atas karunia yang datang tak disangka-sangka itu. Berucaplah sang Ibu dengan ucapan terima kasih dan katanya.... andai saja khalifah Umar itu seperti tuan, yakinlah saya tidak akan ada rakyat yang kelaparan.......dan jawab lelaki tersebut; ibu, besok temui sajalah khalifah Umar diistananya. Bagaimana mungkin kami bisa berjumpa dengan khalifah, beliau adalah pemimpin negeri ini, sedang saya hanyalah rakyat jelata yang tak diperhitungkan adanya. Katanya. Lalu lelaki itupun memberikan selembar kertas yang tak dimengerti isinya, kalau Ibu dilarang menemui khalifah, maka berikan surat ini kepada pengawal istana. Setelah mengucapkan salam dan belum sempat berterima kasih kepada sang tamu tak diundang tadi, ia telah membelah kesunyian malam pergi dengan meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab, dimana kejadian tersebut bagai mimpi bagi sang ibu dan anak-anaknya.
Istana itu dijaga sangat ketat oleh pengawal yang sudah terlatih untuk menjaga keselamatan khalifah sebagai pemimpin negara sekaligus sebagai amirul mukminin dari serangan orang kafir dan munafik, sehingga ketika dipagi buta ibu yang tidak lagi berpakaian sederhana karena sobek disana sini tentu saja dihardik pergi oleh beberapa pengawal. Namun ketika sang ibu menunjukkan selembar kertas yang diberikan oleh lelaki yang bertamu semalam kerumahnya suasana jadi berbeda, dengan penuh hormat diantarkanlah sang Ibu menemui Khalifah diruang kerjanya kendatipun jam belum menunjukkan pukul 6.30 pagi, namun kahlifah biasa mulai bekerja sepagi itu untuk memikirkan kesejahteraan rakyatnya...... Allaahu akbar.... desah sang Ibu, perasaan tidak menentu takut, resah, waswas diikuti oleh gemetarnya seluruh tubuh seolah mau jatuh dihadapan orang yang baru ditemuinya, sebab ternyata orang yang ada dihadapannya adalah orang yang semalam yang telah dihujat didepannya langsung, sekaligus orang yang memberikan pertolongan membawa sekarung gandum yang dipanggulunya sendiri, sambil menangis tanpa disadarinya ia berkata; Alangkah mulianya engkau khalifah, aku mohon maaf aku tak mengira orang yang datang semalam adalah engkau seorang khalifah yang mulia. Jawab khalifah “ semua manusia dihadapan Allah sama, apakah ia raja atau rakyat jelata, bahwa yang mulia disisi Allah adalah
Yang paling bertakwa diantara kita”. Aku bertrima kasih kepadamu sebab dengan ini aku harus lebih baik lagi dalam memimpin, sehingga tidak boleh lagi ada rakyat yang kelaparan. Demikian sepenggal kisah dari kebijakan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, sedang kelanjutan hidup sang Ibu dan anak-anaknya menjadi tanggungan Negara.



,

[/b]

0 komentar: